Menimbang Toleransi Beragama: Antara Soliditas Sosial dan Keutuhan Ajaran
![]() |
Oleh: Hadi Kammis – Menimbang Toleransi Beragama: Antara Soliditas Sosial dan Keutuhan Ajaran |
Pendis Alor (Opini) — Di tengah masyarakat yang semakin majemuk, toleransi beragama menjadi salah satu fondasi utama untuk menciptakan kehidupan yang damai. Namun, seiring waktu, konsep toleransi ini sering kali dipahami secara beragam, bahkan terkadang disalahartikan. Tantangan terbesar adalah menemukan keseimbangan antara membangun solidaritas sosial dengan tetap menjaga keutuhan ajaran agama.
Toleransi beragama, dalam esensinya, adalah tentang menghormati hak orang lain untuk menjalankan keyakinannya tanpa gangguan apapun. Islam sendiri telah mengajarkan prinsip ini, seperti yang tertuang dalam QS. Al-Baqarah (2:256): “Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.” Prinsip ini menjadi dasar bahwa setiap individu bebas menjalankan agamanya tanpa paksaan atau tekanan dari pihak lain.
Baca Juga: Takdir sebagai Dalih: Membaca Motif di Balik Alasan
Namun, dalam praktiknya, sering muncul dilema ketika toleransi ditafsirkan sebagai keharusan untuk terlibat dalam ritual atau perayaan agama lain. Contohnya, beberapa umat Muslim merasa perlu menghadiri acara keagamaan umat lain atau bahkan ikut serta dalam kegiatan perayaan tersebut, dengan alasan solidaritas. Tindakan ini memang dapat dilihat sebagai upaya membangun harmoni sosial, tetapi di sisi lain, ada risiko mencampuradukkan keyakinan yang dapat mengaburkan batas identitas agama.
Dalam Islam, batas toleransi ini dijelaskan dengan tegas, seperti dalam QS. Al-Kafirun (109:6): “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku.” Ayat ini menegaskan bahwa toleransi tidak berarti menyeragamkan keyakinan, tetapi menghormati perbedaan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip agama. Dalam konteks ini, toleransi bukanlah tentang menyatukan simbol atau praktik keagamaan, melainkan tentang menciptakan ruang untuk hidup berdampingan dengan damai.
Soliditas sosial memang penting, tetapi ia tidak boleh dicapai dengan mengorbankan integritas ajaran agama. Sebagai contoh, umat Muslim dapat menunjukkan rasa hormat kepada umat beragama lain melalui ucapan selamat atau partisipasi dalam kegiatan sosial, tanpa harus melibatkan diri dalam ritual keagamaan yang bertentangan dengan akidah islam. Ini adalah bentuk toleransi yang sejati — menghormati tanpa kehilangan jati diri.
Toleransi yang sehat juga berarti menjaga keadilan dan kebajikan dalam hubungan antaragama. Hal ini sesuai dengan QS. Al-Mumtahanah (60:8): “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” Dalam ayat ini, Allah mendorong umat Islam untuk berbuat baik dan adil, selama tidak ada permusuhan atau ancaman terhadap keyakinan mereka.
Baca Juga: Membangun Generasi Mandiri dan Berkarakter: Refleksi QS. An-Nisa Ayat 9 dalam Pendidikan Nasional
Oleh karena itu, menimbang toleransi beragama adalah soal mencari keseimbangan antara membangun solidaritas sosial dan menjaga keutuhan ajaran. Umat beragama perlu terus berupaya menciptakan keharmonisan dengan cara-cara yang tidak melanggar prinsip keimanan mereka. Dalam masyarakat yang plural, tantangan ini memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin untuk dicapai.
Pada akhirnya, toleransi sejati adalah tentang menghormati perbedaan tanpa kehilangan identitas. Ketika kita mampu menjaga keseimbangan antara menghargai perbedaan dan memelihara keutuhan keyakinan, maka itulah toleransi yang sesungguhnya — toleransi yang tidak mencampuradukkan keyakinan, tetapi tetap menghormati perbedaan dengan sepenuh hati.
Dengan memahami batas-batas toleransi, kita dapat membangun masyarakat yang harmonis tanpa harus mengorbankan integritas ajaran agama masing-masing. Ini adalah langkah penting untuk menciptakan dunia yang damai, di mana keberagaman menjadi kekuatan, bukan sumber perpecahan.
Tidak ada komentar