Merdeka Belajar dalam Pelukan Cinta Kasih
![]() |
Oleh: Hadi Kammis - Kepala Seksi Pendidikan Islam Kemenag Kab. Alor |
Pendis Alor (Opini) – Hari kemerdekaan selalu menjadi momen untuk merenung. Di satu sisi, kita mengenang pengorbanan para pejuang yang merebut kemerdekaan dengan darah dan air mata. Di sisi lain, kita diingatkan bahwa kemerdekaan bukanlah garis akhir, melainkan awal dari sebuah perjalanan panjang, perjalanan untuk memerdekakan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Kemerdekaan sejatinya lahir dari cinta para pejuang terhadap bangsa dan tanah airnya. Tanpa cinta, mustahil mereka rela berkorban jiwa dan raga. Cinta itu menjelma menjadi kekuatan, keberanian, keteguhan, dan pengorbanan tanpa pamrih demi generasi setelah mereka. Maka, 80 tahun kemerdekaan yang kita nikmati hari ini pada hakikatnya adalah buah cinta kasih para pejuang kepada bangsa ini.
Dalam konteks pendidikan, kemerdekaan adalah kebebasan untuk belajar, berpikir, dan berkarya. Inilah makna sejati dari konsep merdeka belajar yang digaungkan pemerintah. Namun, kemerdekaan belajar tidak boleh berhenti hanya pada dimensi kognitif. Ia harus dibalut dengan nilai-nilai luhur, terutama cinta kasih.
Kementerian Agama melalui gagasan Kurikulum Cinta memberi arah yang indah, bahwa pendidikan tidak semata-mata menyiapkan generasi cerdas, tetapi juga generasi yang penuh kasih. Sebab cinta adalah energi peradaban. Dengan cinta, guru mengajar bukan sekadar transfer ilmu, melainkan juga pancaran kasih. Dengan cinta, murid belajar bukan karena takut nilai, tetapi karena rindu akan ilmu. Dengan cinta, madrasah menjadi rumah yang memerdekakan jiwa sekaligus menyuburkan akhlak.
Baca Juga: Mendidik dengan Cinta: Guru sebagai Inspirasi Anak Didik
Lebih jauh, dalam tradisi Islam, para ulama menggambarkan bahwa ibadah memiliki tiga maqām: khauf (takut), raja’ (harap), dan mahabbah (cinta). Dari ketiganya, maqām tertinggi adalah mahabbah, ibadah yang dilandasi oleh cinta. Jika kita tarik ke dunia pendidikan, maka sejatinya pendidikan yang luhur adalah pendidikan yang berangkat dari cinta: cinta guru kepada profesinya, cinta guru kepada murid, cinta murid kepada ilmu, dan cinta bersama terhadap lembaga madrasah, serta cinta bersama kepada Sang Pencipta.
Karena itu, cinta kasih harus menjadi ruh pendidikan yang tertanam dalam diri setiap pendidik. Guru madrasah tidak cukup hanya menguasai materi, metode, dan teknologi pembelajaran. Lebih dari itu, mereka dituntut menghadirkan keikhlasan, kelembutan hati, dan ketulusan cinta dalam mendidik. Dengan cara itulah pendidikan Islam mampu memerdekakan akal sekaligus menyucikan jiwa.
Kemerdekaan yang diwariskan para pahlawan hanya akan bermakna jika generasi hari ini hidup dalam ruang belajar yang merdeka dan penuh cinta kasih. Guru madrasah, dalam sunyi dan sederhana, menjadi garda depan dalam menghadirkan pendidikan yang memerdekakan. Mereka bukan hanya pengajar, tetapi pembimbing yang dengan ketulusan hatinya menyalakan cahaya cinta di kelas-kelas kecil di pelosok negeri.
Tugas kita kini adalah melanjutkan ikhtiar itu, menjadikan pendidikan sebagai ladang pembebasan, bukan tekanan; sebagai ruang kehangatan, bukan sekadar ujian. Di tengah dunia yang semakin individualis, pendidikan Islam harus kembali menghadirkan kelembutan hati, karena hanya dengan cinta pendidikan dapat mencapai maqam tertingginya.
Pada akhirnya, kemerdekaan sejati adalah ketika setiap anak bangsa dapat belajar dengan bebas, tumbuh dengan bahagia, dan hidup dengan penuh cinta kasih. Itulah makna terdalam dari Merdeka Belajar dalam Pelukan Cinta Kasih.
Tidak ada komentar