Pendidikan Kepulauan Terpencil: Potret Siswa, Guru, dan Sumber Belajar
![]() |
Oleh: Umar D. Keling, S.Pd ( Guru MTsS Babul Rahmad Kangge) |
Pendis Alor (Artikel Opini) - Pendidikan di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) Indonesia terkenal unik dengan berbagai permasalahan kompleks. Seperti yang terjadi di Di Pulau Kangge Kec Pantar Barat Laut Kab. Alor, sebuah Pulau yang berbatasan langsung Kab. Lembata NTT, yang mengalami kurangnya tenaga pendidik dan kependidikan pada besiknya, rendahnya kesejahteraan guru, minimnya sarana dan prasarana, kurangnya kesempatan pemerataan pendidikan, dan budaya pendidikan yang masih rendah (Yosada, 2017).
Fakta ini sebatas yang terjadi dalam lingkup kecil pada suatu kecamatan. Pada skala yang lebih luas, Provinsi Nusa Tenggara Timur mengalami berbagai kendala dalam pembangunan dunia pendidikan dikarenakan; 1) sarana dan prasaranan pendidikan yang belum memadai; 2) kondisi geografis yang terdiri atas pulau-pulau dengan jarak yang jauh; 3) mahalnya biaya pendidikan; dan 4) jumlah guru yang sedikit dengan kualitas rendah (Ginting, 2016). Baik dalam lingkup kecil pada suatu kecamatan atau lingkup besar pada suatu provinsi, nampaknya terdapat kompleksitas masalah yang sama terkait pendidikan di daerah yang termasuk dalam wilayah 3T.
Khususnya terkait dengan guru, terjadi fenomena unik yang disebut sebagai metrocentricity, yang didefiniskan oleh Campbell dan Yates (2011) sebagai “a personal trait inhibiting teachers from considering country positions.” Berdasarkan temuan penelitian tersebut, didapati bahwa para guru cenderung suka memilih-milih tempat untuk mengajar, sedangkan mayoritas pilihannya adalah mengajar di daerah perkotaan. Sangat sedikit guru yang dengan sukarela mau mengajar di daerah pedesaan terpencil (rural/remote areas). Bahkan, terindikasi bahwa para guru memiliki persepsi yang negatif dan sedikit sekali memiliki persepsi yang positif terhadap daerah terpencil.
Motivasi siswa juga menjadi konsern tersendiri karena siswa di daerah terpencil memiliki motivasi yang rendah dalam belajar terutama pada mata pelajaran matematika dan secara gabungan pada semua mata pelajaran (Handre, Sullivan, & Crowson, 2009). Para siswa tidak benar-benar mengatahui mengapa mereka harus pergi ke sekolah. Siswa memiliki motivasi yang bervariasi terhadap suatu mata pelajaran, namun kecenderungannya, motivasi mereka sangat rendah pada mata pelajaran matematika.
Konteks penelitian ini adalah 2 daerah terpencil di Amerika yang notabene merupakan negara maju, hasil penelitian dengan variable yang sama akan sangat mungkin mendapatkan hasil berbeda jika dilakukan pada daerah terpencil di suatu negara berkembang. Berbagai penelitian yang telah dilakukan di daerah perbatasan Kayan Hulu Malinau (A’ing, 2015) dan Bintan Pesisir Kepulauan Riau (Auldina, 2018), di daerah terpencil Loru Sigi Biromaru (Imran, 2014). dan Buntu Mondong Enrekang (Suardi, Sulfasyah, & Nur, 2016), serta di daerah kepulauan Pulau Nasi Aceh Besar (Adlim, Gusti, & Zulfadli, 2016) dan kepulauan Talaud Sulawesi Utara (Londa, 2016) mendapatkan temuan serupa yang mengungkapkan bahwa kondisi dan pengembangan pendidikan di daerah tersebut masih sangat terbatas, bahkan cenderung didiskriminasikan dan dimarjinalkan. Kondisi pendidikan di Indonesia secara umum juga tidak luput dari catatan buruk.
Tujuh tahun silam, tepatnya pada tahun 2012, berdasarakan pemetaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap 40.000 sekolah di Indonesia, 75% di antaranya tidak memenuhi standar layak minimal pendidikan. Selain itu, hasil kompetensi guru terhadap 460.000 guru mendapatkan nilai rata-rata 44,5 dengan standar minimal yang diharapkan adalah 70 (Baswedan, 2014). Kondisi tujuh tahun yang lalu ini perlu dikonfirmasi kembali untuk melihat progress pengembangan dan pembangunan dalam bidang pendidikan.
Tidak ada komentar